Kafa’ah dan Khitbah

Fiqih II

Kafa’ah dan Khitbah

               DISUSUN OLEH :
                Iskandar     : 15641008
                                       Dosen Pembimbing   : Beni Azwar Mpd.Kons

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI CURUP
(STAIN CURUP)
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat  menyelesaikan makalah  ini sebagaimana yang telah diberikan kepada seya sebagai syarat untuk mengikuti ujian semester mata kulia ini. Kemudian sholawat beriring salam saya haturkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang  telah membawa kita dari alam jahiliyah menuju alam yang penuh  dengan teknologi seperti yang  kita rasakan saat ini.
Kemudian dalam menyelesaikan tugas ini saya mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak- pihak yang telah berperan banyak dalam membantu untuk menyelesaikan pembuatan makalah ini.
            Demikian makalah ini saya buat, apabila terdapat kekurangan dalam pembuatan makalah ini, saya selaku penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan makalah ini dikemudian hari.



Curup,        September  2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar belakang
         Di dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia tidak terlepas dari aturan-aturan yang telah dibuat dan dianjurkan oleh Allah SWT termasuk masalah kafa’ah dan khitbah.
Kafa’ah dalam perkawinan, merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/istri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan.
Adapun khitbah adalah salah satu ciri seseorang laki-laki menampakkan kecintaannya untuk menikah seseorang  wanita yang halal di nikahi secar syah.

B.   RUMUSAN MASALAH
Ø  Apa yang dimaksud dengan kafa’ah.?
Ø  Bagaimana dasar hukun dan konsep kafa’ah.?
Ø  Apa yang dimaksud dengan khitbah.?
Ø  Apa dasar hukum khitbah..?

C.   TUJUAN
Ø  Memahami apa yang dimaksud dengan kafa’ah.
Ø  Memahami dasar hukum kafa’ah.
Ø  Memahami konsep kafa’ah.
Ø  Memahami apa yang dimaksud dengan khitbah.
Ø  Memahami dasar hukum khitbah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.        Kafa’ah ( Kesetaraan )
Pengertian Kafa’ah
Kafa’ah berasal dari bahasa Arab yang berarti sama atau setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam Al-Qur’an adalah dalam surat Al-Ikhlas ayat 4 :
Artinya: “ dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya”.
 Dalam istilah fikih, “sejodoh” disebut “kafa’ah” , artinya ialah sama, serupa, seimbang, atau serasi. Menurut H. Abd. Rahman Ghazali, kafa’ah atau kufu’, menurut bahasa, artinya “setara, seimbang, atau keserasian/kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding”.
Yang dimaksud dengan kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan, menurut istilah hukum Islam, yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan derajat dalam akhlak serta kekayaan.
Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan, keharmonisan, dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab, kalau kafa’ah diartikan persamaan dalam hal harta atau kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan manusia di sisi Allah SWT  adalah sama, hanya ketaqwaannyalah yang membedakannya.
Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT: 
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat (49):13 )
         Kafa’ah dalam perkawinan, merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/istri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan.
Kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu perkawinan  yang tidak seimbang, tidak serasi/sesuai akan menimbulkan problema berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian.Oleh karena itu, boleh dibatalkan.
Kafaah yang di sepakati ulama yaitu kualitas ke-beragamaan. “Tidak se-kufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak se-kufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien
            Ibnu Hazim berpendapat tidak ada ukuran-ukuran kufu’. Dia berkata: “Semua orang Islam asal saja tidak berzina, berhak kawin dengan semua wanita Muslimah, asal tidak tergolong perempuan lacur. Dan semua orang Islam adalah bersaudara. Kendatipun ia anak seorang hitam yang tak dikenal umpamanya, namun tak dapat diharamkan kawin dengan anak Khalifah Bani Hasyim. Walau seorang Muslim yang sangat Fasiq, asalkan tidak berzina ia adalah kufu’ untuk wanita Islam yang fasiq, asal bukan  perempuan berzina”. Alasannya adalah firman-firman allah:

           Artinya: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al-Hujarat ayat 10)

         Artinya:  Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’: 3 )

Tujuan disyari'atkannya kafa'ah adalah untuk menghindari celaan yang terjadi apabila pernikahan dilangsungkan antara sepasang pengantin yang tidak sekufu (sederajat) dan juga demi kelanggengan kehidupan pernikahan, sebab apabila kehidupan sepasang suami istri sebelumnya tidak jauh berbeda, tentunya tidak terlalu sulit untuk saling menyesuaikan diri dan lebih menjamin keberlangsungan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian kafa’ah hukumnya adalah dianjurkan, seperti dalam hadits Abu Hurairah yang dijadikan dasar tentang Kafa’ah, yaitu:

 Artinya: “Wanita itu dikawini karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya, maka pilihlah yang beragama, semoga akan selamatlah hidupmu”.

Secara mafhum hadits ini berlaku pula untuk wanita yang memilih calon suami. Dan khusus tentang calon suami ditegaskan lagi oleh hadits At-Turmudzy riwayat Abu Hatim Al Mudzann.

Artinya:“Bila datang kepadamu (hai wali), seorang laki-laki yang sesuai agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah anakmu kepadanya”.

Kafa’ah menurut bahasa adalah kesamaan dan kemiripan. Adapun maksud yang sebenarnya adalah kesamaan antara dua belah pihak suami-istri dalam 5 hal :
1.         Agama,
2.         Kedudukan. Yaitu nasab atau silsilah keturunan
3.         Kemerdekaan. Maka seorang budak laki-laki tidaklah kufu’ bagi wanita merdeka karena statusnya berkurang sebagai budak.
4.         Keterampilan. Orang yang memiliki keterampilan di bidang tenun kufu’ dengan gadis seorang yang memiliki profesi mulia, seperti pedagang.
5.         Memiliki harta sesuai dengan kewajiban untuk calon istrinya berupa maskawin dan nafkah. Maka, laki-laki yang sulit ekonomi tidak kufu’ untuk seorang gadis yang berada karena pada wanita itu dalam bahaya dengan kesulitan pada suaminya, karena bisa jadi nafkah yang harus ia terima mengalami kemacetan.
Jika salah satu dari pasangan suami-istri berbeda dari pasangannya dalam salah satu dari lima perkara ini, kafa’ah (keserasian, kecocokan,kesetaraan) telah hilang. Namun hal ini tidak memberi pengaruh kepada sahnya pernikahan karena kafa’ah bukan syarat dalam sahnya pernikahan. Seperti perintah Nabi SAW kepada Fatimah bintu Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid. Maka, Usamah menikahinya atas dasar perintah Nabi`
Menurut Ibnu Rusyd, di kalangan Madzhab Maliki tidak di perselisihka lagi bahwa apabila seorang gadis di kawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamr (pemabuk), atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinan tersebut. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa para fuqoha’ juga berbeda pendapat tentang faktor nasab (keturunan), faktor kemerdekaan, kekayaan dan keselamatan dari cacat (aib).
Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan hamba sahaya Arab, seperti firman Allah dalam Qur’an Surat Al Hujurat ayat 13:
                     Artinya :”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat (49):13 )

Dasar Hukum Kafa’ah
            Para ulama’ berbeda persepsi dalam menentukan kriteria yang digunakan dalam kafa’ah:
1. Menurut ulama Hanafiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
a.    Nasab
Yaitu keturunan atau kebangsaan. Orang Arab adalah kufu’ antara satu dengan lainnya. Begitu pula halnya dengan orang Quraisy sesama Quraisy lainnya. Karena itu orang yang bukan Arab tidak sekufu’ dengan perempuan Arab. Orang Arab tetapi bukan dari golongan Quraisy, tidak sekufu’ dengan/ bagi perempuan Quraisy lainnya.
b.    Islam
Yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam. Dengan Islam maka orang kufu’ dengan yang lain. Ini berlaku bagi orang-orang bukan Arab. Adapun di kalangan bangsa Arab tidak berlaku. Sebab mereka ini merasa sekufu’ dengan ketinggian nasab, dan mereka merasa tidak akan berharga dengan Islam. Adapun diluar bangsa Arab yaitu para bekas budak dan bangsa-bangsa lain, mereka merasa dirinya terangkat menjadi orang Islam. Karena itu jika perempuan muslimah yang ayah dan neneknya beragama Islam, tidak kufu’ dengan laki-laki Muslim yang ayah dan neneknya tidak beragama Islam.
c.    Hirfah,
Yaitu profesi dalam kehidupan. Seorang perempuan dan keluarga yang pekerjaannya terhormat, tidak kufu’ dengan laki-laki yang pekerjaannya kasar. Tetapi kalau pekerjaannya itu hampir bersamaan tingkatannya antara satu dengan yang lain maka tidaklah dianggap ada perbedaan. Untuk mengetahui pekerjaan yang terhormat atau kasar, dapat diukur dengan kebiasaan masyarakat setempat. Sebab adakalanya pekerjaan tidak terhormat di suatu tempat dengan  masa yang lain.
d.   Kemerdekaan dirinya
Jadi budak laki-laki tidak kufu’ dengan perempuan merdeka. Budak laki-laki yang sudah merdeka tidak kufu’ dengan perempuan yang merdeka dari asal. Laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak tidak kufu’ dengan perempuan yang neneknya tak pernah ada yang jadi budak. Sebab perempuan merdeka bila dikawin  dengan laki-laki budak dianggap tercela. Begitu pula bila dikawin oleh laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.
e.    Diyanah,
Yaitu tingkat kualitas keberagamaan dalam Islam. Abu Yusuf berpendapat: seseorang laki-laki yag ayahnya sudah dalam kufu’dengan perempuan yang ayah dan neneknya Islam. Karena untuk mengenal laki-laki cukup hanya dikenal ayahnya saja.
f.     Kekayaan.
Golongan Syafi’i berkata bahwa kemampuan laki-laki fakir dalam membelanjai isterinya adalah di bawah ukuran laki-laki kaya.  Sebagian lain berpendapat bahwa kekayaan itu tidak dapat jadi ukuran kufu’ karena kekayaan itu sifatnya timbul tenggelam, dan bagi perempuan yang berbudi luhur tidaklah mementingkan kekayaan.

A.        Khitbah ( Peminangan )

     1. Pengertian Khitbah ( Peminangan )
Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk menguasai seorang wanita tertentu dari keluarganya dan bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup. Atau dapat pula di artikan, seseorang laki-laki menampakkan kecintaannya untuk menikah seseorang  wanita yang halal di nikahi secar syah. Adapun pelaksanaannya beragam; adapun peminang itu sendiri yang memintak langsung kepada yang bersangkutan, atau mulai keluar, dan atau mulai utusan seseorang yang dapat di percaya untuk memintak orang yang dikehendakinya.
       Di antara yang di sepakati mayorit ulama fiqh, syariat, dan undang-undang bahwah tujuan pokok khitbah adalah berjanji akan menikah, belum ada akat nikah. Dalam akat nikah, memiliki ungkapan khusus ( ijab qabul ) dan seperangkat persyaratan tertentu. Dengan demikian segala sesuatu yang tidak demikian bukan akad nikah secara syarat.
Karakteristik khitbah hanya semata perjanjianakan menikah. Masing- masing calon pasangan hendaknya mengembalikan perjanjian ini di dasarkan  pada pilihannya sendiri karena mereka mengunakan haknya sendiri secara murni, tidak ada hak interveksi orang lain. Bahkan andaikata sekaligus, atau  wanita terpinang telah menerima berbagai hadiah dari peminang, atau telah menerimah hadiah yang berharga. Semua itu tidak menggeser status janji semata ( khitbah ) dan di lakukan karena tuntutan maslahat. Maslahat akan terjadi dalam terjadi dalam akat nikah manakahla kedua belah pihak di berikan kebebasan yang sempurna untuk menentukan pilihannya, karena akat nikah adalah akad menentukan kehidupan mereka. Di antara maslahat, yaitujika dalam akad nikah didasarkan pada kelapangan dan kerelaan hati kedua pelah pihak, tidak ada tekanan dan paksaan dari manapun.
Jika seseorang peminang diwajibkan atas sesuatu sebab pinangan itu, berarti dia harus melaksanakan akad nikah sebelum memenuhi segala sebab yang menjadi kerelaan. Demikian yang di tetapkan kitab-kitab fiqh secara ijmah’ tanpa ada perselisihan.kesepakatan tersebut tidak tidak berpengaruh pada yang diriwayatkan dari iman malik bahwa perjanjian itu wajib di penuhi dengan putusan pengadilan menurut sebagai pendapat. Akan tetapi dalam perjanjian akat nikah ( khitbah 0 tidak harus di penuhi, karena penepatan janji ini menurut keberlangsungan akad nikah bagi orang yang tidak ada kerelaan. Hakimpun tidak berhak memutuskan pemaksaan pada akad yang kritis.

2. Dasar hukum Khitbah ( peminangan )
    a. al-Qur’an
“ Dan janganlah menampakkan perhiasannya ( auratmu ), kecuali apa yang bisa terlihat darinya”.( QS. An-nur ( 24 ) : 31 ).
Ibnu abbas menafsirkan kalimat “ apa yang bisa terlihat darinya” di maksutkan wajah dan kedua telapak tangan. Mereka juga menyatakan, pandangan di sini di perbolehkan karena kondisi darurat makam henya sekadarnya, wajah menujukkan dan kecintaan, sedangkan kedua telapak tangan menunjukkan kehalusan dan kelemahan tubuh seseorang. Tidak memboleh memandang selain kedua anggota tubuh tersebut jika tidak ada darurat yang mendorongnya.


b.Hadits
Lihatlah ia, sesungguhnya penglihatan itu lebih utamauntuk mempertemukan antara anda berdua. ( maksutnya menjaga kasih sayang dan kesesuaian )”. Hadis ini diriwayatkan Al-mughirah bin syu’bah. 
Jika meminang salah seseorang di antaranya kamu terhadap seorang wanita maka jika mampu melihat apa yang menarik untuk di nikahi, kerjakanlah. Jabir berkata: “kemudian aku meminang seorang wanita yang semula tersembunyi sehinggah aku melihat apa yang menarik untuk menikahinya, kemudian aku menikahinya.” ( HR. Dawud ).
c. Para ulama-ulama
Ulama hambali berpendapat bahwa batas kebolehan memendang anggota tubuh wanita terpinang sebagai mana memandang wanita mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita pada umumnya di saat berkerja dirumah, seperti wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala,kedua tumit kaki, dan sesamanya.          
Ulama hanafi berpendapat, kadar anggota tubuh yang di perbolehkan untuk di lihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu. Memandang anggota tubuh tersebut dinilai cukup bagi orang ingin mengetahui kondisitubuhnya.
Dawud  Azh-zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh wanita terpinang yang di inginkan. Berdasarkan keumuman sabda nabi; “ lihatlah kepadanya.” Di sini rasulullah tidak mengkususkan suatu bagian  bukan bagian tertentu dalam kebolehan melihat.
Pendapat Azh-zhahiri telah di tolak manyoritas ulama, karena pendapat mereka menyalahi ijma’ ulama dan menyalahi prinsip untuk kebolehan sesuatu karenah darurat diperkirahkan sekadarnya. Pendapat yang kuat ( rajih ), yakni bolehnya memandang wajah, kedua tangan, dan kedua tumit kaki.

Posting Komentar

0 Komentar